Pages

Minggu, 05 Juni 2011

Why did Lady Jane Grey become queen for only nine days?


A. Religion

*Little support from the people to Jane Grey as queen because of her religious faith

There was little support for Jane Grey as Queen among the vast majority of the English people. Hardly anyone had ever heard of Jane Grey, particularly outside of London. Many English citizens resented the Protestant nobles who had virtually ruled England during King Edward’s reign, and wanted no part of a puppet Queen controlled by the Dudley faction.


*People more comfortable if their leaders one faith with them
Despite her Catholicism, Mary was the acknowledged heir to the throne in the minds of the people. Within a few days, supporters of Mary Tudor rallied to Mary’s side, and a fighting force was created to help her regain her throne.


B. Decision of The Ministers
The Privy Council switched their allegiance from Jane to Mary, and proclaimed her queen in London on 19 July. Northumberland set out from London with troops on 14 July; in his absence the Privy Council switched their allegiance from Jane to Mary, and proclaimed her queen in London on 19 July. The Privy Council prefer when Mary Tudor became Queen of England because it is directly appointed by King Henry VIII.

C. Rebellion
*Jane is accused for rebellion

Lady Jane was tried and found guilty of her role in the insurrection, in which Guildford's father John Dudley was leading the plot to take Mary Tudor's throne



However, when a second plot to dethrone Mary Tudor was discovered. The goal of this new rebellion, lead by Sir Thomas Wyatt, was to prevent the marriage of Mary Tudor to Philip of Spain. Unfortunately, Lady Jane Grey's father was an active participant in the new scheme. Apparently he had learned nothing from his earlier experience. His feelings toward his daughter are apparent here, as he was willing to sacrifice Jane's life to achieve his own goals. Although Jane had no part in the Wyatt Rebellion, Queen Mary’s advisors felt that Mary’s throne would not be secure until Lady Jane Grey was removed. Jane had already been a figurehead in one plot, and would always be a tempting focus for future revolts against Mary Tudor. Then, Lady Jane, her husband Guilford Dudley, and her father Henry Grey were executed.

*Mary also do a rebellion
But, rebellion also made from Mary Tudor and her allies. Because in King Henry’s will, King Henry VIII had named his oldest daughter, Mary, as heir to the throne after Edward and Mary feel more worthy to receive the throne as queen




D.Betrayal by John Dudley the Duke of Northumberland
*John Dudley’s plan
To further consolidate his power, John Dudley decided that Lady Jane Grey should marry his youngest son, Guildford Dudley. That way, when Lady Jane became Queen, she could share her crown with Guildford, who was dominated by his father. Then, Jane realized the extent of Northumberland's plan. Northumberland had not wanted her as Queen. He had wanted her as his son's wife. Guildford as King of England, would give Northumberland supreme power
Selengkapnya...

Lady Jane Queen of England 1553


Lady Jane Grey was born in Leicestershire in 1537. Her father was Henry Grey, marquess of Dorset, later duke of Suffolk. Her mother, Lady Frances Brandon, was the daughter of Princess Mary of England, sister of Henry VIII, and her second husband, Charles Brandon.

Well-educated as was fit for a young lady who was however distantly in line for succession for the throne, Lady Jane Grey became the ward of Thomas Seymour, fourth husband of Henry VIII's widow, Catherine Parr. After his execution for treason in 1549, Lady Jane Grey returned to her parents' home.

John Dudley, Duke of Northumberland, in 1549 became head of the council advising and ruling for the young King Edward VI, son of King Henry VIII and his third wife, Jane Seymour. Under his leadership, England's economy improved, and the replacement of Roman Catholicism with Protestantism progressed.Northumberland realized that Edward's health was fragile and probably failing, and that the named successor, Mary, would side with the Roman Catholics and probably would suppress Protestants. He arranged with Suffolk for Suffolk's daughter, Lady Jane, to marry Guildford Dudley, son of Northumberland. They were married in May, 1553. Northumberland then convinced Edward to make Jane and any male heirs she might have the successors to Edward's crown. Northumberland gained the agreement of his fellow council members to this change in the succession.
Lady Jane Grey offered crown



This act bypassed Henry's daughters, the princesses Mary and Elizabeth, whom Henry had named his heirs if Edward died without children. The act also ignored the fact that the duchess of Suffolk, Jane's mother, would normally have precedence over Jane, since Lady Frances was the daughter of Henry's sister Mary and Jane the granddaughter.
Execution of Lady Jane Grey



After Edward died on July 6, 1553, Northumberland had Lady Jane Grey declared Queen, to Jane's surprise and dismay. But support for Lady Jane Grey as Queen quickly disappeared as Mary gathered her forces to claim the throne. On July 19, Mary was declared Queen of England, and Jane and her father were imprisoned. Northumberland was executed; Suffolk was pardoned; Jane, Dudley and others were sentenced to be executed for high treason. Mary hesitated, however, until Suffolk participated in Thomas Wyatt's rebellion, when Mary realized that Lady Jane Grey, alive, would be too tempting a focus for further rebellions. Lady Jane Grey and her young husband Guildford Dudley were executed on February 12, 1554
Selengkapnya...

Lady Jane Film (1986)


Sutradara: Trevor Nunn
Pemain: Helena Bonham Carter, Cary Elwes, Jane Lapotaire, Patrick Stewart, Sara Kestelman, Michael Hordern, John Wood, Jill Bennett, Adele Anderson, Warren Saire

Tahun Rilis: 1986

Tidak gampang mengartikan kata "pengkhianat" dalam konteks kesilsilahan tahta monarki Inggris. Di rezim tertentu, siapapun bisa jadi pengkhianat, siapapun bisa dituduh pengkhianat, dan karena itu, siapa saja bisa berakhir dengan hukuman pemenggalan kepala. Lady Jane Grey, atau yang lebih dikenal dengan julukan "The Nine Days' Queen," salah satu contoh nyatanya. Lady Jane harus berakhir dengan hukuman penggal karena dianggap berkhianat atas tahta yang (diyakini) seharusnya milik Mary I, sepupunya sendiri. Pertumpahan darah antar saudara semacam ini bukan barang baru lagi di sejarah monarki Inggris, ingat konflik antara Elizabeth I dan Mary, Queen of Scott?
Tidak ada yang salah dengan Lady Jane Grey, sebenarnya. Dan jelas pemenggalan tersebut bukan kesalahan Mary I juga. Bahkan tidak gampang juga menunjuk langsung orang per orang. Yang benar-benar bisa disalahkan mungkin hanyalah politik dan situasi yang terjadi saat itu. Kalau Anda rakyat jelata yang hidup di masa, hari-hari Anda akan dihabiskan dengan sumpah-menyumpah pada bangsawan yang merebut tanah. Kalau Anda bangsawan di masa itu, hari-hari Anda akan dihabiskan dengan memikirkan cara terbaik untuk menaikkan status. Dan kalau Anda anak bangsawan yang lahir di masa itu, siap-siap saja jadi korban perjodohan demi status, tahta, atau malah harta. Dan kalau Anda Raja (atau Ratu) Inggris, Anda justru akan disibukan dengan perihal mendapatkan keturunan penerus tahta. Ingat cerita Anne Boleyn dan Henry VIII (orang tua Elizabeth I)?


Lady Jane ber-setting di Inggris menjelang masa-masa akhir kejayaan House of Tudor (yang diakhiri dengan berakhirnya rezim Elizabeth I). Film ini dibuka di rezim Edward VI (diperankan oleh Warren Saire) - di usianya yang ke-15, hari-hari terakhirnya - raja Protestan pertama di Inggris. Saat itu pemerintahan dipegang oleh parlemen dan John Dudley, Duke of Northumberland (John Wood), karena Edward VI belum mencapai usia yang dianggap layak untuk memegang kekuasaan (dia baru mendapatkan tahta penuh di usia 18 tahun). Itu juga merupakan masa-masa berkembangnya ajaran baru, Protestan, di Inggris.

Lady Jane (Helena Bonham Carter di awal-awal karirnya) merupakan sepupu (dari kakek) dari Edward VI. Beliau berada di urutan kelima sebagai pewaris tahta pasca meninggalnya Henry VIII. Lady Jane dibesarkan dengan cara Protestan, juga dengan pendidikan-pendidikan - dia bahkan membaca buku-buku tentang filsafat Plato yang ditulis dalam bahasa Yunani. Lady Jane merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dan dikenal sebagai yang paling cantik dan paling pintar dari ketiganya. Dan tidak perlu heran kalau kedua orang tua Lady Jane, Duke dan Duchess (Patrick Stewart dan Sara Kestelman), mencari celah-celah tertentu untuk meningkatkan status dan posisi keluarga mereka melalu putrinya. Salah satu kemungkinan ialah menjodohkan Lady Jane dengan Edward VI (mereka "sepupu jauh"). Keduanya sama-sama berusia 15 tahun, sama-sama dibesarkan dengan ajaran Protestan, sama-sama muda, dan cukup dekat. Namun kemungkinan perjodohan tersebut usang ketika kondisi Edward VI semakin parah (sekarat). Hal ini juga berarti bahwa tahta selanjutnya tentu akan diserahkan pada Mary I.

Berbeda dengan Edward VI, Mary I adalah merupakan pengikut Katolik taat. Terbukti para masa kekuasaannya, Mary I mengkaji ulang penerapan Protestan di rezim Edward VI dan menegaskan kembali penerapan ajaran Katolik Roma. Hal ini sangat tidak disetujui oleh Duke of Northumberland. Demi mencegah hal tersebut, John Dudley membujuk-rayu Edward VI, yang sedang sekarat, untuk membuat pernyataan yang berisi penyerahan tahta langsung pada Lady Jane. Lady Jane bahkan dinikahkan dengan putra keduanya, Lord Guilford Dudley (Cary Elwes).

Ya, pasca meninggalnya Edward VI, Lady Jane sempat merasakan tahta Inggris, walaupun hanya sembilan hari. Sampai Mary I datang merebut tahtanya, dan sayangnya para bagnsawan dan anggota perlemen lebih mendukung Mary I ketimbang Lady Jane (termasuk yang semulanya meminta Lady Jane mengambil posisi ratu). Dalam waktu sesingkat itu juga Lady Jane langsung dinyatakan sebagai pengkhianat, dan tentu, diberi hukuman. Mulanya Mary I, yang sebelum konflik ini sebenarnya memiliki hubungan baik, memberi ampunan Lady Jane dari hukuman penggal. Sayangnya nasib berkata lain ketika ayah Lady Jane melakukan pemberontakan sambil meneriakkan "Long live Queen Jane!" (lebih karena beliau tidak menyetujui dengan perombakan Protestan - Roman Katolik yang akan dilakukan Mary I, dan campur tangan Spanyol). Terlebih ketika Mary I hendak menikahi Pangeran Philip dari Spanyol, sesama sosok Katolik taat, calon mempelianya itu meminta Mary I mengambil tindakan tegas atas Lady Jane (yang notabene seorang Protestan). Bahkan sampai saat ini, sosok Lady Jane masih kerap dianggap sebagai martir.


Film ini mengkronologiskan kehidupan romansa Lady Jane dengan suaminya, masa-masa sembilan hari pemerintahannya, hingga hari-hari terakhirnya. Sebagian besar film ini menggambarkan secara tepat kehidupan Lady Jane, walaupun ada beberapa detil yang melenceng dari sejarah, seperti hubungan romantis Lady Jane dengan suaminya (yang saya rasa ditampilkan demi kepentingan sinematik) - padahal nyatanya hubungan mereka sama sekali tidak harmonis.

Untuk ukuran costume drama, atau period drama, Lady Jane masih jauh dari kata bagus. Film ini tidak mampu berkata lebih banyak ketimbang melodrama romasanya. Bagi mereka yang mengharapkan gambaran politik, sosial, atau hal-hal yang lebih mendalam seputar era kebangsawanan, siap-siap saja dikecewakan. Sudah jelas tujuan film ini adalah "memartirkan" sosok Lady Jane. Hanya saja, ketimbang memaparkan poin-poin yang lebih tajam, film ini malah terlena pada melodrama dangkalnya. Satu-satunya cara menikmati Lady Jane ialah melalui sudut pandang Lady Jane itu sendiri. Anggap saja film ini murni sebuah melodrama tentang Lady Jane, tanpa embel-embel politik, sosial, budaya, dan tetek-bengek lainnya. Helena Bonham Carter, yang masih muda dan imut banget, berhasil menghipnotis saya dengan penampilan yang sangat meyakinkan sebagai Lady Jane.
Trailer filmnya
Selengkapnya...

Sabtu, 04 Juni 2011

Bravehearth (Film)


Film Braveheart mengisahkan perlawanan bangsa Skotlandia atas penjajahan Inggris pada akhir abad ke 13. Perlawanan penduduk Skotlandia di pimpin oleh William Wallace (Mel Gibson), seorang pemuda biasa yang melihat banyak kejadian mengerikan semasa hidupnya. Di saat kecil harus kehilangan ayah juga saudaranya karena terbunuh oleh tentara Inggris dalam sebuah perang.Setelah dewasa lagi-lagi William Wallace harus kehilangan orang yang dicintai, yakni istrinya, yang terbunuh oleh bangsawan Inggris setelah yang ingin menidurinya pada malam pertama karena amandemen "Prima Nocta" dari raja Inggris. yang diawali oleh masalah Prima Nocta.

Dari peristiwa inilah kemudian ia memutuskan untuk melawan penjajahan Inggris, dan memimpin pemberontakan terhadap Inggris, yang saat itu di pimpin oleh Longshanks - King Edward I(Patrick McGoohan)

Disinlah semua petualangan dan perang terjadi antara pasukan pemberontak Skotlandia yang sudah bosan dan jenuh dijajah, melawan kerajaan Inggris Raya. Film yang sangat seru dan penuh aksi heroik juga keberanian.
Trailer film

Selengkapnya...

Elizabeth (Film Inggris),


Elizabeth merupakan sebuah film kolosal yang dirilis tahun 1998. Film ini berbasis dari masa kekuasaan Ratu Elizabeth I. Film ini disutradarai oleh Shekhar Kapur, dan dibintangi oleh, antara lain Cate Blanchett, Geoffrey Rush, Joseph Fiennes, Christopher Eccleston, dan Richard Attenborough.Legenda Manchester United, Eric Cantona juga ikut bermain dalam film ini, bersama calon James Bond masa depan saat itu, Daniel Craig.

Sekuel dari film ini yang berjudul Elizabeth: The Golden Age dirilis pada tahun 2007
Pemain

Cate Blanchett sebagai Elizabeth I
Geoffrey Rush sebagai Francis Walsingham
Christopher Eccleston sebagai Thomas Howard, 4th Duke of Norfolk
Joseph Fiennes sebagai Robert Dudley, 1st Earl of Leicester
Kathy Burke sebagai Mary I of England
Jordi Mollà sebagai Philip II of Spain
Emily Mortimer sebagai Kat Ashley
Edward Hardwicke sebagai Henry FitzAlan, 19th Earl of Arundel
Daniel Craig sebagai John Ballard
James Frain sebagai Alvaro de la Quadra
Kelly Macdonald as Lettice Knollys
Angus Deayton sebagai Waad, Chancellor of the Exchequer
Wayne Sleep sebagai the dance tutor
Richard Attenborough sebagai William Cecil, 1st Baron Burghley
John Gielgud sebagai Paus
Fanny Ardant sebagai Mary dari Guise
Vincent Cassel sebagai the Henri, Duc d'Anjou
Eric Cantona sebagai Monsieur de Foix
Selengkapnya...

Jane Austen (Sastrawan)


Jane Austen (lahir 16 Desember 1775 – meninggal 18 Juli 1817 pada umur 41 tahun) adalah seorang novelis Inggris, yang gaya realismenya, uraiannya yang tajam tentang kondisi sosial, dan kepiawaiannya meramu gaya narasi bersudut pandang orang ketiga, parodi, dan ironi, telah menjadikannya salah satu penulis dalam kesusasteraan Inggris yang paling disukai dan karyanya dibaca di mana-mana.

Austen berasal dari keluarga kecil yang hidup harmonis dan bertempat tinggal di pinggiran kota di lingkungan bangsawan. Ia dididik oleh ayah dan kakak laki-lakinya, serta belajar sendiri dari buku-buku yang dibacanya. Dukungan penuh dari keluarga sangat membantu perkembangan Austen sebagai seorang penulis profesional. Proses belajar menulisnya berlangsung sejak masa remaja hingga usianya mencapai 35 tahun. Selama periode ini, ia bereksperimen dengan berbagai bentuk karya sastra, termasuk novel berbentuk surat yang sempat ditulisnya dan akhirnya diabaikan, tetapi kemudian direvisi secara menyeluruh menjadi tiga novel besarnya. Lalu ia memulai novel yang keempat.Dari tahun 1811 hingga tahun 1816, dengan terbitnya Sense and Sensibility (1811), Pride and Prejudice (1813), Mansfield Park (1814), dan Emma (1816), ia sukses sebagai seorang penulis. Ia menulis dua novel lainnya, Northanger Abbey dan Persuasion. Keduanya diterbitkan pada tahun 1818 setelah kematiannya. Novel ketiga yang berjudul Sanditon tidak sempat diselesaikannya karena ia meninggal dunia.

Karya-karya Austen mengkritik aliran the novel of sensibility yang berkembang pesat pada pertengahan kedua abad 18 dan juga aliran realisme abad 19. Plot cerita Austen, meski lebih bersifat parodi, menyoroti betapa pentingnya pernikahan bagi kaum perempuan masa itu demi menjamin status sosial dan ekonominya. Seperti halnya plot cerita dalam karya Samuel Johnson, salah satu pengaruh kuat terhadap tulisan Austen, novel-novel Austen mempersoalkan isu moral.

Semasa hidupnya, karena Austen memilih untuk menerbitkan secara anonim, novel-novelnya tidak membuatnya dikenal luas dan tidak banyak diulas. Sepanjang pertengahan abad 19, novel-novel Austen dikagumi hanya oleh kaum pujangga golongan kelas atas. Namun, penerbitan Memoar of Jane Austen karya keponakan laki-laki Austen pada tahun 1869 membuat Austen dikenal oleh khalayak umum sebagai sosok pribadi yang menarik, sekaligus memopulerkan novel-novelnya. Pada tahun 1940-an, Austen mulai diakui di lingkungan akamedis sebagai "penulis besar Inggris". Pada pertengahan abad 20, semakin banyak orang yang tertarik untuk mempelajari karya Austen. Mereka mengupas segala aspek, mulai dari artistik, ideologi, hingga sejarah. Di era budaya pop muncul sebuah kelompok Janeite, yang lebih berfokus pada kehidupan Austen, novel-novelnya dan berbagai adaptasi novelnya dalam film dan televisi.


Selengkapnya...

Mary Shelley (Sastrawan)


Mary Shelley (lahir 30 Agustus 1797 – meninggal 1 Februari 1851 pada umur 53 tahun) adalah seorang novelis Inggris, dikenal dengan novelnya Frankenstein. Ia menikah dengan penyair Romantisme Percy Bysshe Shelley

Bibliografi
Novel

Frankenstein (1818)
Valperga (1823)
The Last Man (1826)
Perkin Warbeck (1830)
Lodore (1835)
Falkner (1837)

Cerita pendek

Mathilda
The Bride of Modern Italy
The Dream
Ferdinando Eboli
The Invisible Girl
The Mortal Immortal:A Tale
Roger Dodsworth:The Reanimated Englishman
The Sisters of Albano
The Transformation
Valerius:The Reanimated Roman

Non-fiksi

*History of a Six Weeks' Tour Through a Part of France, Switzerland, Germany and Holland (1817)
*Rambles in Germany and Italy (1844)
Selengkapnya...

George Orwell (Sastrawan)


George Orwell (nama asli: Eric Arthur Blair; Motihari, lahir di Bengal, India, 25 Juni 1903 – meninggal di Sutton Courtenay, Oxfordshire, Inggris, 21 Januari 1950 pada umur 46 tahun) adalah sastrawan Inggris yang terkenal dengan karyanya Nineteen Eighty-Four dan Animal. Eric Arthur Blair lahir pada 25 Juni 1903 dari orang tua kelahiran Inggris di Motihari, Bengal, India. Ayahnya, Richard Walmesley Blair, bekerja di Departemen Opium di Layanan Sipil. Ibunya, Ida Mabel Blair (nee Limouzin), membawanya ke Inggris pada saat dia berumur satu tahun. Dia tak bertemu dengan ayahnya lagi hingga tahun 1907, saat Richard berkunjung ke Inggris selama tiga bulan. Eric memiliki dua saudari; Majorie, saudari tuanya, dan Avril, yang muda. Dia menyebut keluarganya sebagai kelas menengah-atas-bawah.
Pendidikan

Pada umur enam tahun, Eric masuk Anglican parish school (sekolah parish Anglikan) di Henley-on-Thames, di mana dia memukau para gurunya. Ibunya menginginkan dia untuk mendapat pendidikan umum yang baik, tapi kondisi keuangan keluarganya tidak dapat memenuhinya kecuali dia mendapatkan beasiswa. Saudara ibunya, Charles Limouzin yang tinggal di Pantai Selatan, merekomendasikan St Cyprian's School, Eastbourne, Sussex. Kepala sekolahnya turut membantu Blair untuk mendapatkan beasiswa, dan membuat perjanjian finansial privat yang membolehkan orang tua Blair membayar hanya setengah dari biaya normal. Di sekolah, Blair membuat ikatan persahabatan yang bertahan lama dengan Cyril Connolly (nantinya menjadi editor majalah Horizon, yang kemudian menerbitkan banyak esai-esai Blair). Bertahun-tahun kemudian Blair mengingat masa sekolahnya dengan "mordant" dalam esai "Such, Such Were the Joys". Bagaimanapun, selama di sekolah itu, dia menulis dua puisi yang diterbitkan di surat kabar lokal, dan mendapatkan juara ke-dua pada Harrow History Prize. Karyanya mendapatkan pujian dari penilik eksternal sekolah dan mendapatkan beasiswa ke Wellington dan Eton.

Setelah menjalani satu termin di Wellington College, Blair pindah ke Eton College dengan beasiswa King (King's Scholar), dan Aldous Huxley sebagai tutor Bahasa Perancisnya. Kemudian, dia menulis tentang bagaimana dia cukup bahagia di Eton, karena membiarkan siswanya mendapat cukup kebebasan; namun dia sempat menghentikan membuat karya-karya serius di sana. Rapor akademiknya berserta alasannya, bervariasi. Dengan nilai yang buruk berarti dia tidak bisa melanjutkan ke Universitas; jika Blair muda mendaftarkan diri ke universitas, hampir pasti Ia bisa masuk ke Oxbridge.

Hari-hari di Burma

Pada saat Ia menyelesaikan sekolah di Eton, keluarganya tidak bisa membiayai kuliah di universitas; ayahnya berpendapat prospek beasiswanya sangat kecil, maka pada 1922 Eric Arthur Blair bergabung dengan Polisi Imperial India, bertugas di Katha dan Moulmein di Burma. Kehidupan sebagai polisi imperial membuat Blair kemudian membenci imperialisme; ketika pergi ke Inggris, dia mengundurkan diri dari Kepolisian Imperial India pada 1927 untuk menjadi penulis.

Pengalaman sebagai polisi Burma melahirkan novel Burmese Days (1934) dan esai "A Hanging" (1931) dan "Shooting an Elephant" (1936). Di Inggris, dia menulis pada kenalan keluargaya, Ruth Pitter, kemudian lewat Ruth dan seorang temannya Blair berhasil mendapat kamar tinggal di Portobello Road (sekarang sebuah plakat biru menyatakan Blair pernah tinggal di sana), di mana dia mulai menulis.

Jatuh bangun di Paris dan London

Dia pindah ke Paris pada musim semi 1928, di mana bibinya, Nellie tinggal, berharap untuk mendapatkan penghidupan sebagai penulis lepas; kegagalan menyebabkannya untuk menjalani pekerjaan rendahan seperti pencuci piring di Hotel X, di rue de Rivoli pada 1929. Semuanya diceritakan dalam "Down and Out in Paris and London". Catatan mengenainya tidak mengatakan apakah Ia telah memiliki ide mengenai buku tersebut sebagai terminus dari pengalaman-pengalaman hidup rendahan tersebut atau tidak.

Pada akhir 1929 dia kembali ke Inggris, ke rumah orang tuanya di Southwold, Suffolk, dalam keadaan sakit dan tak memiliki uang, di mana dia menulis "Burmese Days", dan juga secara rutin berusaha untuk menggelandang sebagai upaya melakukan penelitian bukunya tentang kehidupan orang-orang termiskin di masyarakat. Sementara itu, dia secara teratur menjadi kontributor di majalah New Adelphi yang dikelola John Middleton Murry.

Bekerja keras dalam membuat karya tulis (pada masa ini Blair menulis terus-menerus: ulasan buku, artikel, puisi, novel (Burmese Days), Blair gagal membuat novel "Down and Out in Paris and London" terbit, sementara Ia membutuhkan uang untuk hidup. Pada tahun 1932 Ia kemudian mengambil pekerjaan sebagai kepala sekolah sekaligus mengajar di The Hawthornes, Hayes, Middlesex. Kehidupan politik, sosial dan kepenulisan di Inggris tahun 30-an dipenuhi oleh masalah pengangguran, Blair sendiri mengambil pekerjaan tersebut untuk tidak jatuh miskin. [1]

Tanpa diketahui Blair, manuskrip "Down and Out in Paris and London" yang diberikan kepada seorang teman untuk dihancurkan malah dikirim ke agen kepenulisan Leonard Moore yang kemudian menawarkannya ke Victor Gollancz, dari pihak penerbit. Novel tersebut disetujui untuk diterbitkan dengan revisi. Kepada agennya Blair menulis surat bahwa Ia menginginkan pseudonim karena Ia merasa "tidak puas" dengan karya tersebut. Ia kemudian menyarankan empat pseudonim: P. S. Burton (nama yang biasa Ia gunakan ketika menggembel), Kenneth Miles, George Orwell, dan H. Lewis Allways. "Saya lebih menyukai George Orwell," tambah Blair dalam suratnya. Karena penerbitnya sependapat, maka lahirlah nama George Orwell. "Down and Out in Paris and London" terbit pada Januari 1933. [1]

Sebagai seorang penulis, George Orwell menuliskan hidupnya sebagai seorang guru di Southwold untuk novel "A Clergyman's Daughter" (1935). Novel yang ditulis tahun 1934 di rumah orang tuanya itu dikerjakan setelah Ia menderita sakit dan orang tua yang mendesaknya untuk meneruskan kehidupannya sebagai pengajar. Dari akhir 1934 hingga awal 1936, dia bekerja sebagai asisten paruh waktu di Booklover's Corner, sebuah toko buku bekas di Hampstead. Mengalami kesendirian dan kesepian, dia ingin menikmati kehadiran penulis muda untuk menemani, dan pengalaman-pengalaman tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah novel berjudul "Keep the Aspidistra Flying (novel)|Keep the Aspidistra Flying" (1936).
[sunting] Perang Saudara Spanyol dan Catalonia

Pada Desember 1936 Blair berangkat ke Spanyol untuk bergabung dengan pihak Republikan dalam Perang Saudara Spanyol. Perang saudara yang pecah pada Juli 1936 tersebut bermula ketika Jenderal Franco memimpin sebuah kudeta militer untuk menggulingkan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis --yang merupakan sebuah koalisi kelompok liberal, sosialis, anarkis, dan komunis-- dengan kekerasan.

Peninggalan

Kritik sastra

Selama hidupnya, Orwell secara terus menerus menopang hidupnya sebagai pengulas buku, pekerjaan menulis yang begitu lama dan menakjubkan sehingga memengaruhi dunia kritik sastra. Dalam kesimpulan perayaan esainya tahun 1940 tentang Charles Dickens, seseorang mungkin akan melihat Orwell sendiri dengan:

"Ketika seseorang membaca karya seseorang yang begitu kuat, seseorang memiliki impresi bahwa Ia melihat wajah di suatu tempat di belakang halaman yang Ia baca. Tidak harus wajah si penulis. Aku merasakan hal ini dengan begitu kuat ketika membaca (karya) Swift, Defoe, Fielding, Stendhal, Thackeray, Flaubert, meskipun dalam beberapa kasus Aku tidak tahu bagaimana rupa orang-orang ini dan tidak mau tahu. Apa yang seorang lihat adalah wajah yang harus dimiliki si penulis. Tapi, dalam kasus Dickens Aku melihat wajah yang sepertinya bukan wajah dalam foto Dickens, walaupun menyerupai. Yang kulihat adalah wajah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, dengan sedikit janggut dan warna terang. Lelaki itu tertawa, dengan sedikit nada amarah dalam tawanya, tapi tanpa rasa kemenangan. Itu adalah wajah seorang lelaki yang selalu melawan suatu hal, namun yang melawan secara terbuka dan tidak takut, wajah lelaki yang begitu marah -- dalam lain kata, seorang liberal abad ke-19, seorang intelektual yang bebas, tipe yang dibenci dengan rasa benci yang sama oleh semua ortodoksi kecil busuk yang saat ini berputar-putar merasuki jiwa kita."

Aturan untuk penulis

Dalam "Politics and the English Language," George Orwell memberikan enam aturan untuk penulis:

Jangan pernah gunakan metafora, simile, atau ungkapan yang biasa kita lihat pada karya cetak.
Jangan pernah gunakan kata panjang jika bisa menggunakan kata pendek.
Jika mungkin menghapus sebuah kata, hilangkanlah.
Jangan pernah gunakan suara pasif ketika kita bisa gunakan bentuk aktif.
Jangan pernah gunakan frase bahasa asing, istilah saintifik, atau jargon jika kita bisa menemukan persamaannya dalam bahasa Inggris sehari-hari.
Langgarlah aturan-aturan ini secepatnya daripada mengatakan sesuatu dengan barbar.

Bibliografi

Down and Out in Paris and London (1933) — [1]
Burmese Days (1934) — [2]
A Clergyman's Daughter (1935) — [3]
Keep the Aspidistra Flying (1936) — [4]
The Road to Wigan Pier (1937) — [5]
Homage to Catalonia (1938) — [6]
Coming Up for Air (1939) — [7]
Animal Farm (1945) — [8]
Nineteen Eighty-Four (1949) — [9]
Selengkapnya...

Ciri Ciri khas Puisi Inggris Kuno


Simile dan metafora

Puisi Inggris Kuno memiliki ciri bahwa dalam tipe ini secara relatif tidak banya simile. Ini merupakan ciri khas gaya penulisan puisi Inggris Kuno dan merupakan akibat dari baik strukturnya, maupun kecepatan di mana lukisan-lukisan diterapkan dan dengan ini tidak bisa untuk secara efektif mendukung majas simile yang luas. Sebagai contoh, wiracarita Beowulf memuat paling banyak lima simile, dan semuanya dalam bentuk pendek. Di sisi lain hal ini sungguh bertolak belakang dengan ketergantungan puisi Inggris Kuno terhadap penggunaan metafora, terutama yang dicapai dengan penggunaan kennings. Contoh yang paling menonjol terdapat di The Wanderer di mana sebuah pertempuran dirujuk sebagai "badai tombak".[4]. Cara perujukan terhadap pertempuran seperti ini memberi kita kesempatan untuk melihat bagaimana orang Inggris Kuno memandang sebuah pertempuran: sebagai tak terduga, kacau, kejam, dan mungkijn bahkan merupakan sebuah tugas dari alam. Dengan unsur-unsur gaya dan tematik inilah seseorang harus menghadapi puisi Inggris Kuno

Aliterasi

Puisi Inggris Kuno secara tradisional beraliterasi. Artinya ialah bahwa bunyi-bunyi (biasanya konsonan pada posisi awal) diulang-ulang pada baris yang sama. Sebagai contoh di Beowulf terdapatkan pada baris weras on wil-siþ wudu bundenne[5] "seseorang pada perjalanan yang diinginkan menuju ke kapal", kebanyakan kata-kata beraliterasi pada konsonan "w". Bentuk aliterasi ini sungguh tersebar luas dan penting sehingga pada baris Beowulf yang baru dikutip ini, kemungkinan sang penyair bermula menggunakan kata wil-siþ ("perjalanan yang diinginkan" gagasan terpenting baris ini) dan lalu meletakkan kata-kata lainnya di baris ini yang beraliterasi dengannya. Sungguh pentinglah aliterasi sehingga hal inilah yang menjadi esensi baris secara keseluruhan. Hal ini bukanlah sesuatu hal yang aneh pada studi tradisi lisan pada transkripsi.

Jeda

Puisi Inggris Kuno juga memiliki ciri khas adanya pembagian baris berupa jeda Jerman (caesura). Selain menambah tempo setiap baris, jeda ini juga mengelompokkan setiap baris menjadi dua kuplet.

Elaborasi

Puisi Inggris Kuno memiliki gaya dramatis tempo yang cepat, dan dengan ini cenderung tidak terpengaruh oleh hiasan luas yang bisa, katakan, ditemukan pada sastra Keltik pada masa yang sama.

Di mana seorang penyair Keltik kontemporer bisa menggunakan 3 atau 4 simile, seorang penyair Inggris Kuno bisa saja hanya memasukkan sebuah kenning saja sebelum dengan cepat melanjutkan alur cerita.
Selengkapnya...

Prosa Inggris Kuno


Jumlah karya prosa Inggris Kuno yang terlestarikan jauh lebih besar daripada jumlah puisi. Dari karya prosa yang terlestarikan, sebagian besar merupakan khotbah dan terjemahan dari karya agama dalam bahasa Latin. Prosa Inggris Kuno pertama muncul pada abad ke-9, dan berlanjut disalin sampai ke abad ke-12. Prosa Kristen

Penulis Inggris Kuno yang paling dikenal luas adalah Raja Alfred, yang menterjemahkan banyak buku dari bahasa Latin ke bahasa Inggris Kuno. Terjemahan ini termasuk: The Pastoral Care karya Gregorius Agung, sebuah buku pedoman bagi para pastor tentang bagaimana mereka harus bertindak melaksanakan kewajiban mereka; The Consolation of Philosophy oleh Boethius; dan The Soliloquies karya Santo Agustinus. Alfred juga bertanggung jawab untuk menerjemahkan 50 Mazmur ke dalam bahasa Inggris Kuno. Banyak terjemahan penting Inggris Kuno lainnya diselesaikan oleh mitra-mitra Alfred termasuk: The History of the World oleh Orosius, sebuah karya untuk mengiringi The City of God karya Agustinus dari Hippo; Dialog Gregorius Agung; dan Ecclesiastical History of the English People oleh Bede.

Ælfric dari Eynsham, menulis pada abad ke-10 akhir dan abad ke-11 awal. Ialah yang paling besar dan paling aktif sebagai penulis khotbah Inggris Kuno, yang disalin dan disesuaikan terus untuk digunakan sampai ke abad ke-13. Ia juga menulis sejumlah riwayat hidup orang suci, sebuah karya Inggris Kuno mengenai penghitungan waktu, surat-surat pastoral, terjemahan enam kitab pertama Alkitab, terjemahan antarbaris dan terjemahan bagian-bagian lainnya dari Alkitab termasuk Kitab Amsal, Kitab Kebijaksanaan, dan Kitab Yesus bin Sirakh.

Terdapat pada kategori yang sama seperti Aelfric, dan orang semasa adalah Wulfstan II, uskup agung York. Khotbah-khotbahnya sungguh stilistik. Karyanya yang paling ternama adalah Sermo Lupi ad Anglos di mana ia menyalahkan dosa-dosa orang Britania sehingga sampai diinvasi orang Viking. Ia juga menulis sejumlah teks-teks hukum kerohanian Institutes of Polity dan Canons of Edgar.

Salah satu teks tertua Inggris Kuno dalam bentuk prosa adalah Martyrology, informasi mengenai orang suci dan martir menurut hari lahir mereka dan hari raya dalam kalender gerejawi. Teks ini terlestarikan pada enam fragmen. Diyakini teks ini berasal dari abad ke-9 oleh seorang penulis Mercia anonim.

Kumpulan tertua khotbah gerejawi adalah Homili Blickling dalam Buku Vercelli dan berasal dari abad ke-10.

Terdapat sejumlah riwayat hidup orang suci dalam karya prosa. Selain yang ditulis oleh Aelfric terdapat pula karya prosa mengenai riwayat hidup Santao Guthlac (Buku Vercelli), riwayat hidup Santa Margaret dan riwayat hidup Santo Chad. Selain itu ada empat riwayat hidup di manuskrip Julius: Tujuh Orang Tidur dari Efesus, Santa Maria dari Mesir, Santo Eustacius, dan Santo Euphrosynus.

Lalu terdapat banyak terjemahan Inggris Kuno dari banyak bagian Alkitab. Aelfric menterjemahkan enam kitab pertama (Hexateuch). Kemudian ada pula terjemahan Injil. Yang paling populer adalah Injil Nikodemus, yang lain termasuk Injil Pseudo-Matius, Vindicta salvatoris, Wahyu Santo Paulus dan Wahyu Thomas"[6].

Salah satu korpus terbesar teks Inggris Kuno terdapat pada teks-teks hukum yang dikumpulkan dan diselamatkan oleh rumah-rumah ibadah. Teks-teks ini termasuk bermacam-macam jenis: catatan tentang sumbangan kaum bangsawan, surat wasiat, dokumen emansipasi, daftar buku-buku dan relikwi, risalah sidang pengadilan, dan peraturan berserikat. Semua teks-teks ini menyajikan informasi berharga mengenai sejarah sosial masa Inggris Kuno, namun mereka juga memiliki nilai kesusastraan. Sebagai contoh, beberapa kasus persidangan menarik dilihat dari sudut pandang penggunaan retorikanya.
[sunting] Prosa sekuler

Kronik Anglo-Saxon kemungkinan dimulai pada masa Raja Alfred dan berlanjut lebih dari 300 tahun sebagai catatan historis mengenai sejarah Anglo-Saxon.

Sebuah contoh tunggal roman (cerita hikayat) klasik terlestarikan, ini merupakan sebuah fragmen dari terjemahan Latin Apollonius dari Tyana oleh Philostratus (220 Masehi), dari abad ke-11.

Seorang biarawan yang menulis dalam bahasa Inggris Kuno pada masa yang sama seperti Aelfric dan Wulfstan adalah Byrhtferth dari Ramsey, di mana buku-bukunya Handboc dan Manual merupakan makalah matematika dan retorika.

Aelfric juga menulis dua karya neo-sains, Hexameron dan Interrogationes Sigewulfi, yang membicarakan cerita Penciptaan. Ia juga menulis sebuah tatabahasa dan glosarium dalam bahasa Inggris Kuno yang disebut Latin, yang kemudian dipakai oleh para peneliti yang tertarik untuk mempelajarai bahasa Perancis Kuno karena karya ini diberi terjemahan antarbaris dalam bahasa Perancis Kuno.

Lalu banyak pula pedoman dan penghitungan dalam menemukan hari-hari raya, dan tabel mengenai penghitungan pasang-surut dan musim bulan.

Dalam Kodeks Nowell terdapat teks The Wonders of the East yang juga memuat sebuah peta dunia luar biasa, dan ilustrasi lain-lainnya. Selain itu kodeks yang sama juga memuat Alexander's Letter to Aristotle. Karena ini merupakan manuskrip yang sama yang memuat Beowulf, beberapa pakar berspekulasi bahwa kemungkinan manuskrip ini merupakan kumpulan material mengenai tempat-tempat dan makhluk-makhluk eksotis.

Terdapat sejumlah karya medis menarik. Ada sebuah terjemahan Herbarium Apuleius dengan ilustrasi menarik dan ditemukan bersama dengan Medicina de Quadrupedibus. Koleksi teks-teks kedua adalah Bald's Leechbook, sebuah buku dari abad ke-10 yang memuat pengobatan herbal dan bahkan beberapa pengobatan operasi. Koleksi ketiga dikenal sebagai Lacnunga, yang berdasarkan mantra, nyanyian magis, dan ilmu putih.

Teks-teks hukum Inggris Kuno merupakan bagian yang besar dan penting dari korpus ini. Menjelang abad ke-12, mereka telah ditata menjadi dua koleksi besar (lihat Textus Roffensis). Mereka termasuk hukum raja-raja, bermula dengan mereka yang berasal dari Aethelbert dari Kent, dan teks-teks mengenai hal-hal dan tempat-tempat tertentu di dalam negeri. Sebuah contoh menarik adalah Gerefa yang menggarisbawahi kewajiban seorang reeve pada sebuah kompleks rumah bangsawan besar. Lalu ada pula sebuah jilid besar dokumen-dokumen hukum yang berhubungan dengan rumah-rumah ibadah.
Selengkapnya...

Rabu, 01 Juni 2011

Sejarah Sastra Inggris


Sejarah bahasa Inggris bermula dari lahirnya bahasa Inggris di pulau Britania kurang lebih 1.500 tahun yang lalu. Bahasa Inggris adalah sebuah bahasa Jermanik Barat yang berasal dari dialek-dialek Anglo-Frisia yang dibawa ke pulau Britania oleh para imigran Jermanik dari beberapa bagian barat laut daerah yang sekarang disebut Belanda dan Jerman. Pada awalnya, bahasa Inggris Kuno adalah sekelompok dialek yang mencerminkan asal-usul beragam kerajaan-kerajaan Anglo-Saxon di Inggris. Salah satu dialek ini, Saxon Barat akhirnya yang berdominasi. Lalu bahasa Inggris Kuno yang asli kemudian dipengaruhi oleh dua gelombang invasi.

Gelombang invasi pertama adalah invasi para penutur bahasa dari cabang Skandinavia keluarga bahasa Jerman. Mereka menaklukkan dan menghuni beberapa bagian Britania pada abad ke-8 dan ke-9.
Lalu gelombang invasi kedua ini ialah suku Norman pada abad ke-11 yang bertuturkan sebuah dialek bahasa Perancis. Kedua invasi ini mengakibatkan bahasa Inggris "bercampur" sampai kadar tertentu (meskipun tidak pernah menjadi sebuah bahasa campuran secara harafiah).
Hidup bersama dengan anggota sukubangsa Skandinavia akhirnya menciptakan simplifikasi tatabahasa dan pengkayaan inti Anglo-Inggris dari bahasa Inggris.
Selengkapnya...

Sastra Inggris Kuno


Sastra Anglo-Saxon atau sastra Inggris Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris Kuno pada periode pasca Romawi dari kurang lebih pertengahan abad ke-5 sampai pada Penaklukan Norman tahun 1066. Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, hagiografi, khotbah, terjemahan Alkitab, undang-undang, kronik, teka-teki, dan lain-lain. Secara total ada sekitar 400 manuskrip yang terlestarikan dari masa ini, sebuah korpus penting baik bagi khalayak ramai atau para peneliti.

Beberapa karya penting termasuk syair Beowulf, yang telah mencapai status wiracarita nasional di Britania. Kronik Anglo-Saxon merupakan koleksi awal sejarah Inggris. Himne Cædmon dari abad ke-7 adalah salah satu tulisan tertua dalam bahasa Inggris yang terlestarikan.
Sastra Inggris Kuno telah melampaui beberapa periode penelitian yang berbeda-beda. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 awal, fokusnya terutama ialah akar Jermanik bahasa Inggris, lalu aspek kesusastraannya mulai ditekankan, dan dewasa ini fokusnya terutama pada paleografi dan naskah manuskripnya sendiri: para peneliti mendiskusikan beberapa isyu seperti: pentarikhan manuskrip, asal, penulisan, dan hubungan antara budaya Anglo-Saxon atau Inggris Kuno dengan benua Eropa secara umum pada Abad Pertengahan.
Selengkapnya...

Selasa, 31 Mei 2011

Puisi Inggris Kuno


Puisi Inggris Kuno dibagi menjadi dua jenis, puisi heroik pra-Kristen Jermanik dan puisi Kristen. Secara sebagian besar puisi-puisi ini terlestarikan dalam empat manuskrip. Manuskrip pertama disebut sebagai Naskah Junius (juga dikenal sebagai Naskah Caedmon), yang merupakan sebuah antologi puisi bersungging. Manuskrip kedua disebut Buku Exeter, juga merupakan sebuah antologi, dan terletak di Katedral Exeter karena telah dihibahkan ke sana semenjak abad ke-11. Manuskrip ketiga disebut Buku Vercelli, sebuah campuran antara puisi dan prosa. Buku ini sekarang terletak di Vercelli, Italia. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan mengapa buku ini bisa sampai di Italia dan masih merupakan bahan perdebatan. Manuskrip keempat adalah Codex Nowell, yang juga merupakan campuran antara prosa dan puisi.

Bangsa Inggris Kuno tidak meninggalkan kaidah puisi atau sistem eksplisit; semua yang kita ketahui mengenai puisi pada masa ini ialah berdasarkan analisis modern. Teori pertama yang diterima secara luas disusun oleh Eduard Sievers (1885). Ia membedakan lima pola aliterasi yang berbeda-beda. Teori John C. Pope (1942), yang menggunakan notasi musik untuk melacak lima pola, telah diterima di beberapa kalangan; beberapa tahun sekali sebuah teori baru muncul dan topik ini masih tetap diperdebatkan secara hangat. Pengertian yang paling populer dan dikenal luas mengenai puisi Inggris Kuno masih tetap teori sajak aliterasi Sievers. Sistem ini berdasarkan aksen, aliterasi, kuantitas vokal, dan pola aksentuasi berdasarkan suku kata. Sistem ini terdiri atas lima permutasi pada sebuah skema sajak dasar; sembarang dari lima jenis ini bisa dipakai pada semua bentuk puisi. Sistem ini diwarisi dari sistem serupa pada bahasa Jermanik tua lainnya. Dua majas yang secara umum ditemukan pada puisi Inggris Kuno adalah kenning, sebuah frasa formulais yang melukiskan sesuatu menggunakan istilah lainnya (misalkan dalam Beowulf, lautan disebut sebagai "jalan angsa") dan litotes, sebuah eufemisme dramatis yang dipakai oleh sang penulis untuk mendapatkan efek dramatis.

Secara kasar, bait-bait puisi Inggris Kuno dibagi oleh sebuah jeda pada bagian tengah; jeda ini disebut caesura. Setiap paruh bait memiliki dua suku kata yang mendapatkan tekanan. Suku kata pertama yang mendapatkan tekanan pada paruh bait kedua harus beraliterasi dengan satu atau kedua suku kata yang mendapatkan tekanan pada paruh pertama bait (artinya tentu saja, ialah bahwa suku kata yang mendapatkan tekanan pada paruh pertama bisa beraliterasi satu sama lain). Suku kata kedua yang mendapatkan tekanan tidak boleh beraliterasi baik suku kata yang mendapat tekanan manapun pada paruh pertama.
Selengkapnya...